Batam

Tahun lalu, selain ke Atambua, saya juga sempat ke Batam, daerah perbatasan yang lain. Dibandingkan dengan Atambua, Entikong, serta perbatasan lainnya, Batam jelas kota yang paling maju. Batam berbatasan dengan Singapura dan hanya dipisahkan oleh laut pendek. Meski ia paling maju di antara daerah perbatasan lainnya, ia kalah jauh dari Singapura. Negeri tetangga itu ibarat lampu yang terang benderang, sementara Batam adalah lampu yang redup, meski bukan kelip-kelip. Tujuh watt lah.

Perkenalan saya dengan Batam sebenarnya dimulai jauh sebelum akhir 2016 lalu. Sewaktu saya SD, kakak sepupu saya bekerja di Batam. Saat itu Batam adalah wilayah perindustrian baru. Selain kakak sepupu, beberapa tetangga perempuan yang tak mampu lanjut kuliah memilih merantau ke Batam, menjadi buruh pabrik yang menjanjikan. Sementara para pemuda memilih main gaplek di rumah sambil mabuk tiap malam. Dalam bayangan saya waktu itu, Batam adalah kota yang maju dan gemerlap, bukan seperti Salatiga yang begitu-begitu saja. Bayangan saya runtuh ketika saya sampai di Batam. Rupanya Batam adalah kota yang kusam.

Sepanjang perjalanan dari bandara ke hotel tempat saya menginap, tidak tampak penataan yang cukup menjanjikan sebagai sebuah kota yang berhadapan dengan Singapura. Tanah di pinggir jalan kering dan membuat kota ini terasa selalu berdebu. Saat hujan, genangan air gampang sekali ditemui. Pusat perbelanjaan Nagoya yang populer itu pun tampak setara dengan Progo saja.

Eman-eman sebenarnya jika Batam tak “diolah” dengan benar. Sebagai sebuah wilayah kepulauan, pantai tak menjadi destinasi wisata yang umum bagi masyarakat setempat maupun pendatang. Ini kerugian besar. Warga Batam lebih senang nyebrang ke negara tetangga. Alih-alih menjadi destinasi wisata yang bisa bersaing dengan Singapura, Batam justru mengambil ceruk yang gelap, menjadi pusat wisata esek-esek dan tempat judi. Ini sudah rahasia umum. Batam pun menghadapi persoalan khas perbatasan: perdagangan manusia dan narkoba.

Batam diselamatkan oleh kuliner yang menggoda lidah, namun tidak mengganggu kantong. Seperti wilayah Sumatera lainnya, makanan di Batam juara. Para pelancong–biasanya keluarga–dari negeri jiran biasa menghabiskan malam Minggu untuk wisata kuliner di Batam. Barang-barang pun jauh lebih murah dibanding barang yang sama di Singapura. Jika wisata Batam dikelola dengan benar, mestinya para wisatawan di Singapura dari berbagai belahan dunia juga mau singgah ke Batam barang semalam. Toh untuk menyeberang hanya perlu naik kapal sekira sejam.

One thought on “Batam

Leave a comment