Menikmati Kelezatan Bebek Goreng Tebal dan Empuk di Warung Bu Jum Boyolali

Bebek Bu Jum Mantap

 

Perjalanan dari Semarang ke Solo adalah perjalanan yang selalu menyenangkan. Kalau ingin cepat, tinggal lewat tol yang sekarang sudah tersambung. Kurang dari dua jam, sudah sampai. Kalau sedang santai, lewat jalur biasa bakal lebih lambat satu sampai satu setengah jam, tapi bisa bonus mencicipi kuliner-kuliner lezat di sepanjang perjalanan: di Ungaran, Salatiga, atau Boyolali. Semua maknyus.

Kalau sedang ingin kuliner di Boyolali, salah satu menu ini sungguh layak Anda coba: bebek goreng Bu Jum. Nama warungnya Ayam Goreng Bu Jum, tapi bebeknya sungguh juara. Dagingnya tebal, tapi empuk. Beda dengan bebek goreng terkenal lainnya yang cenderung kering dan tipis. Makan seporsi sudah kenyang, meski tetap terasa kurang.

Yang istimewa dari bebek goreng Bu Jum adalah perpaduan antara dagingnya yang tebal dengan bumbunya yang kuat. Penggunaan bumbu-bumbu dapur yang melimpah–seperti sereh, kunyit, jahe, dan laos–dan teknik memasak yang tepat membuat rasanya meresap hingga ke tulang. Meski bumbunya berani, rasa gurih dari daging bebeknya tidak lantas hilang. Rasa bumbu yang kuat dan gurihnya bebek justru saling menguatkan. Membuat lidah kita terasa dimanjakan. Menurut pemiliknya sih mereka pakai bumbu warisan leluhur.

Jangan lupakan juga sambal bawangnya yang bikin liur menetes. Warung Bu Jum menyediakan dua jenis sambal, sambal bawang dan sambal terasi. Dua-duanya enak, tapi saya pribadi lebih suka sambal bawangnya. Perpaduan cabai, bawang, dan garamnya pas. Ada juga minyaknya, tapi tidak terlalu oily. Rasanya sangat pedas namun nikmat, bikin kita kapok lombok.

Untuk menuju ke Warung Bu Jum memang butuh sedikit usaha. Lokasinya memang bukan di jalur utama Semarang-Solo, tapi juga tidak terlalu jauh dari jalan raya. Kalau melewati Puskesmas Banyudono, tinggal belok di jalan sebelah puskesmas, lalu ikuti saja sampai ketemu jembatan Ketaon yang melintasi Kali Pepe. Dari situ, warung sudah terlihat. Tepatnya di Pertigaan Desa Bendungan, Kelurahan Gumukrejo, Kecamatan Teras, Boyolali. Warungnya memang sederhana, tapi tidak akan mengurangi nikmatnya makan bebek goreng di sana.

Kalau tidak suka menu bebek, warung ini juga menyediakan ayam goreng, lele goreng, dan kakap goreng yang tak kalah enaknya. Satu porsi bebek goreng sudah termasuk sepotong tempe dan tahu goreng, jadi seporsi saja sudah sangat kenyang. Harganya? Rp20.000 saja untuk sepaket bebek goreng dan Rp18.000 untuk sepaket ayam goreng. Surga dunia.

Oya, jangan lupa juga nambah pete goreng biar makin maknyus.

 

Tulisan ini juga dimuat di https://www.kabarkuliner.com/menikmati-kelezatan-bebek-goreng-tebal-dan-empuk-di-warung-bu-jum-boyolali/

Mengenang Bang Amir

Tepat setahun yang lalu, 25 Januari 2018, saya terjaga sampai pagi. Padahal gangguan tidur itu sudah lama sekali tidak mampir. Yang ada malah sebaliknya, ngantukan. Menjelang subuh, saya dapat kabar dari WAG kalau Bang Amir Effendi Siregar meninggal.

Memang sejak 2016 Bang Amir sakit, dan sempat membuat beliau menghentikan aktivitasnya di Jakarta. Namun, sakitnya sempat sembuh. Bang Amir kembali bolak-balik Jogja-Jakarta seperti sebelumnya. Malam tadi saya sengaja lewat depan Hotel Treva, tempat Bang Amir menginap selama aktivitasnya di Jakarta kembali.

Saya mengenal dekat Bang Amir belum lama. Maklum, meski diajar sewaktu kuliah, saya tipe mahasiswa culun yang tidak pernah dekat dengan dosen. Saya baru kenal tipis-tipis setelah bergabung dengan PKMBP. Waktu itu Bang Amir tidak terlalu sering menyambangi PKMBP. Intensitas berurusan dengan Bang Amir mulai sering saat saya ikut-ikutan belajar di PR2Media. Bang Amir selalu berjabat tangan dengan mantap, sering dengan gaya salaman ala ala aktivis–padahal saya pasivis. Jabatan tangannya yang erat bikin saya merasa diakui sebagai bagian dari lembaga tersebut karena saya di situ adalah pupuk bawang yang baru bergabung.

Saya memang tidak selalu bisa memahami/mengikuti pemikiran Bang Amir seperti murid-murid/kolega Bang Amir lainnya di PR2Media. Tapi setidaknya ada sedikit jejak pengaruh Bang Amir pada saya. Ini terlihat saat suatu siang saya ikut-ikutan diskusi dengan KNRP mendampingi Mbak Yayuk yang sedang riset. Saat saya sok-sokan tidak setuju KPID ditunjuk/jadi perpanjangan tangan dari KPI Pusat, ada anggota KNRP (saya lupa siapa) yang kemudian komentar, “Ini Bang Amir banget.”

Kebaikan Bang Amir sudah bukan rahasia lagi. Semua yang kenal Bang Amir pasti berani bersaksi Bang Amir adalah orang baik. Saya punya pengalaman yang menunjukkan betapa baiknya Bang Amir. Waktu itu saya bersama Ayya dapat tugas mencari data di beberapa lembaga di Jakarta, sekaligus mewawancarai informan riset. Kami kebagian wawancara Pak Agung, direktur sebuah TV lokal di Jakarta/Banten. Karena jadwal yang padat, beliau rela menemui kami di bandara karena sore itu kami sudah harus balik Jogja. Kalau bukan karena nama Bang Amir, mana mau beliau jauh-jauh nyetir dan menembus kemacetan Jakarta ke bandara Soekarno Hatta hanya demi kami wawancarai.

Pagi itu saya melupakan tidur. Saya sedih sekali Bang Amir sudah pergi. Tapi saya juga lega, Bang Amir tidak sakit lagi. Malam ini saya di Cikini, daerah yang paling sering disebut Bang Amir, nunut menyelesaikan pekerjaan sembari menulis ini. Kadang masih bertanya, kira-kira apa komentar Bang Amir saat saya memutuskan ambil pekerjaan di Jakarta sekarang ini.

Mengenang Bang Amir yang sudah tidak bisa ditemui tentu bikin hati teriris. Tapi saya yakin Bang Amir akan lebih senang kalau dikenang dengan kegembiraan dan semangat.

Cikini, 25 Januari 2019

Papah

Tanggal 20 Agustus kemarin Papah ulang tahun. Seperti biasa, saya cuma bisa mengucapkan selamat lewat telepon, mengucapkan doa secukupnya, lalu bicara tentang apa saja. Mesra memang bukan tindakan yang biasa di keluarga saya. Papah suka mengalihkan pembicaraan kalau ucapan ulang tahun dan doa dari saya terlalu panjang. Mungkin Papah malu, atau terharu, atau tidak terbiasa saja. Kami memang tidak pernah merayakan ulang tahun.

Lima belas tahun yang lalu, juga saat Papah ulang tahun, saya malah pindah ke Jogja. Papah, juga Ibuk dan adek mengantar saya hijrah untuk kuliah. Mungkin waktu itu jadi ulang tahun yang menyebalkan bagi Papah. Saya memang terkenal sebagai anak Papah sampai adek saya lahir saat usia saya hampir 13 tahun, atau bahkan sampai sekarang. Perpisahan waktu itu mungkin berat baginya. Untung ada adek saya yang masih meramaikan rumah. Kakak saya sudah lebih dulu pindah ke Jogja.

Hingga 15 tahun sejak ulang tahun yang mungkin berat itu, rasanya saya tidak pernah bikin senang Papah, juga Ibuk. Palingan pas 6 tahun kemudian saya akhirnya wisuda. Rasanya itu saja.

Papah adalah orang yang saya kagumi. Dia kreatif, prigel, ramah, dan yang paling penting adalah tangan dan hatinya ringan untuk menolong orang lain. Sifatnya yang altruis itu yang menjadi catatan permanen di kepala saya.

Papah berbeda dengan Ibuk. Papah lebih banyak bicara daripada Ibuk yang diam dan lebih suka memendam perasaan. Namun, banyak bicara ini kadang justru bikin kami–keluarganya–kesal. Kami menganggap Papah suka membual dan sombong, meskipun mungkin maksudnya adalah memberi motivasi bagi orang-orang di sekitarnya. Sekesal-kesalnya saya dengan bualan Papah, ternyata itu juga menurun ke saya. Teman-teman saya di kampus mungkin yang paling merasakan bualan saya, terutama Ambar dan Eneng. Maap yak.

Tahun ini saya punya kesempatan untuk mengajak Papah dan Ibuk jalan-jalan sebentar di Jakarta. Beberapa hari sebelum ulang tahun Papah. Berangkat naik pesawat, pulang naik kereta, menikmati Kota Tua di malam hari, melihat Monas di sisa-sisa tenaga, mengunjungi Katedral, dan terutama ikut upacara di istana meski hanya penurunan bendera. Semoga semua pengalaman baru ini jadi kado yang menyenangkan buat Papah.

Gorontalo II

Ini adalah kali kedua saya ke Gorontalo. Cerita tentang pengalaman pertama ke Gorontalo ada di sini. Seperti biasa, kuliner daerah adalah salah satu hal yang menjadi perhatian saya. Pada kesempatan pertama, saya bertanya pada partner lokal tentang makanan khas Gorontalo, tapi tidak ada jawaban yang meyakinkan. Pengalaman kuliner yang berbeda hanya makan pisang goreng dengan cocolan sambal di pinggir Pantai Botutonuo yang indah. Setelah pulang ke Yogyakarta, saya baru ingat kalau ada makanan khas Gorontalo bernama Binte Biluhuta. Padahal, saya pernah makan Binte Biluhuta sebelumnya di kafe Momento—yang sekarang sudah tutup—bareng pacar.

Pada hari pertama dan kedua, saya dan rombongan diajak untuk makan ikan laut. Saya sih senang saja makan ikan laut terus, tapi tetap ada rasa penasaran pada makanan lokal. Karena salah satu rombongan adalah pejabat, maka saya tak punya hak untuk request binte biluhuta. Hehe. Saya sudah pasrah tidak menjajal kuliner lokal lagi di kesempatan kedua ini.

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Setelah menghabiskan pagi dengan bahagia karena bisa snorkeling di Pantai Botutonuo, saya dan rombongan menuju bandara untuk pulang. Dalam perjalanan itu kami mampir untuk makan siang. Tahukah kamu apa menu kami siang itu? Yup. Ikan bakar! Tapi kali ini kami makan tidak dengan nasi. Kami makan dengan milu siram.

PhotoGrid_1508667429126.jpg

Saya ingin loncat-loncat ketika sampai di depan rumah makan bertuliskan milu siram. Sampai di meja, ternyata kami sudah dipesankan makan: ikan bakar, nasi, milu siram, ca kangkung, dan entah apa lagi.

Milu, dalam bahasa Gorontalo, berarti jagung. Milu siram adalah jagung yang disiram. Dalam bahasa lokal, milu siram juga disebut dengan binte biluhuta. Nah, saya jadi bingung karena milu siram berbeda dengan binte biluhuta yang pernah saya rasakan dulu. Milu siram adalah jagung kukus (mirip grontol di Jawa) yang disiram kuah santan plus parutan kelapa. Selain jagung, di dalamnya ada terong, daun bawang, daun kemangi, dan suwiran ikan.

Milu siram yang gurih dan asin dipadu dengan ikan bakar dan sambal dabu-dabu segar adalah perpaduan yang lezat. Rupanya milu siram bisa dimakan sebagai pengganti nasi atau pelengkap nasi. Mumpung ada jagung, tentu saya pilih makan tanpa nasi. Bagi orang yang tidak terbiasa, mungkin makan milu siram dan ikan bakar akan terasa aneh karena ikan bakar biasanya dimakan dengan karbohidrat tak berkuah.

Bagi saya, rasa milu siram mirip lodeh tapi lebih sederhana. Mereka yang tak suka asin mungkin akan menganggap milu siram terlalu asin, tapi bagi saya, rasa milu siram sangat pas. Tak terasa sepiring milu siram dan seekor ikan bakar telah habis saya santap. Rasanya ingin nambah sepiring lagi, tapi kok masih ada kue lapis yang harus dicoba. Ah, semoga saya bisa makan milu siram lagi lain kali.

 

*tulisan ini pernah dimuat di http://www.kabarkuliner.com/milu-siram-dan-ikan-bakar-sajian-nikmat-khas-gorontalo/

Menyusuri Kenangan

Hari ini seperti mengulang saat kuliah dulu. Siang naik sepeda hingga Bunderan UGM, lalu sore jalan kaki pulang.

Rute pulang tentu beda dengan dulu. Kali ini tak melewati Karangasem-Karangwuni/Swakarya-Jakal. Arah pulang sudah beralih ke timur. Lumayan juga melewati jalanan di depan SGPC, sepi dan kendaraan jarang lewat. Dulu kalau lewat timur, sering bareng teman. Mampir makan nasi gudeg pojokan yang murah sekali. Sekarang jarang bertemu sesama pejalan kaki.

Kaki dan tubuh yang manja ini sudah tergoda untuk melihat sepotong kegembiraan di lapangan Klebengan setelah jalan sekira 15 menit.


img-20180227-wa0002.jpeg

Rasanya menggembirakan kalau ada lebih banyak ruang seperti ini.

Tak Ada Tahun Baru bagi Ibuk

Saat semalam jalanan di sekitar Tugu Jogja dan Malioboro penuh dengan manusia, rumahku sepi sekali. Hanya ada papah, ibuk, dan bulik. Anak-anaknya ibuk ada di Jogja. Yang dua menonton film pakai proyektor bersama seorang sahabat, yang satu mungkin juga menikmati malam tahun baru bersama anak-istrinya. 

Selain menikmati kembang api yang tak berhenti-berhenti dari depan rumah, ibuk hanya menonton acara tv yang membosankan. Menonton dengan terkantuk-kantuk karena lelah jualan seharian. Sudah bertahun-tahun hanya begitu agenda malam tahun barunya. 

Tak ada tahun baru bagi ibuk. Paginya ibuk tetap bangun pagi seperti biasa. Pergi ke pasar untuk jualan seperti hari-hari lainnya. Angka satu berwarna merah di kalender bukan hari libur bagi ibuk. Angka 2017 menjadi 2018 tak berarti apa-apa. Saat sekolah dulu, pergantian tahun menjadi penting karena setiap tugas dan catatan harus diberi tanggal di kanan atas. Tapi ibuk jarang mencatat dengan mencatumkan tahun. 

Saat anak paling kecil ibuk membuat resolusi untuk punya nilai kuliah baik dan punya pacar tahun ini, ibuk hanya memikirkan tagihan bulanan, utang dagangan, dan uang kuliah anak-anaknya. Begitu saja dijalani hidupnya. Tahun baru ataupun tahun tidak baru.

Selamat tahun baru! Sehat selalu!

Seandainya

Bayangkanlah seperti ini. Malam lumayan dingin–memang tidak sedingin malam-malam sebelumnya yang selalu disertai hujan deras. Gerimis tipis-tipis. Kamu begitu lelah dan lapar. Seharian kamu bekerja dan rapat, benar-benar dari pagi hingga malam sekali. Atau kamu lelah dan lapar setelah hampir lima jam berdiri di lapangan GSP karena ingin nonton Tulus. 

Dalam perjalanan pulang, kamu membayangkan sepiring nasi hangat dengan ayam penyet di atasnya. Ini bukan ayam penyet biasa. Ini adalah ayam penyet burjo Rio. 

Ayamnya bukan ayam goreng tepung besar yang dagingnya cuma sedikit seperti yang sedang marak di Yogyakarta. Daging ayamnya sangat tebal. Bikin kamu puas. Ayamnya juga sudah dibumbui sebelumnya. Entah bumbu apa, yang pasti enak sekali. Ayamnya digoreng lagi ketika kamu pesan ke penjual.

Yang penting lagi adalah sambalnya. Bayangkan saat kamu pesan cabai tiga. Ibu penjual akan memilihkanmu cabai-cabai warna jingga yang menggoda. Lalu ia letakkan di atas ulegan beserta bawang merah dan garam. Sambil bercerita tentang apa saja, ia haluskan cabai dan lainnya. Ia ambil sedikit minyak dari penggorengan untuk menambah nikmat sambalnya. 

Saat ayam sudah panas, ia angkat ayam dari wajan dan ia taruh di atas ulegan. Ia penyet sampai sedikit lumat. Setelah ia siapkan nasi hangat di piring, ayam penyet akan menghiasi atasnya. Siap kamu santap. Tambah sedikit kering tempe jika kamu mau. 

Itu adalah kenikmatan yang tiada tara.

Tentu saja jika saat kamu sampai di sana, ayam masih tersisa. Tidak seperti malam ini saat aku ke sana dan terpaksa makan nasi telor saja. 

Mana yang Lebih Menyedihkan?

Hujan deras seharian. Dingin. Lapar malam-malam. Pengen pesan makanan via go food. Lalu berpikir, kasihan driver gojeknya, hujan begini. Lalu berpikir lagi, ada driver gojek yang sudah hujan-hujan begini nunggu orderan nggak dapat-dapat karena orang-orang berpikir kasihan dia harus hujan-hujanan. 

Apakah aku harus pesan makanan lewat go food?

Perempuan-Perempuan Barista

Aktivitas sehari-hari saya adalah mengunjungi kafe untuk menghambur-hamburkan uang honor saya sebagai seorang pekerja lepas beriman tebal. Meski demikian, saya tidak berani menyatakan diri sebagai coffee addict karena saya masih lebih suka pesan milk with ginger–bilamana ada–daripada kopi-kopi nusantara. Paling mentok ya cafe latte alias kopi susu. Aktivitas perkafean saya sebatas masuk-duduk-pesan-goda-goda barista-kerja-minum-bayar-pulang sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan.

Beberapa tahun terakhir memang makin banyak kafe di Jogja, lucu-lucu pula. Instagramable kata rang-orang. Selain tempatnya yang didesain dengan apik, fenomena lainnya adalah adanya barista-barista perempuan. Dulu, kafe seperti Semesta, Ningratri, Mato, dan Manut–yang tenar sebelum ada kafe lucu-lucu–didominasi oleh barista laki-laki. Kemunculan barista perempuan menunjukkan bahwa …

Siapalah saya bergaya-gaya mau membahas barista perempuan. Lha muka mas-mas barista yang barusan saya goda saja saya sudah lupa, apalagi barista-barista perempuan yang saya temui beberapa hari yang lalu. Pankapan deh kalau saya sudah melakukan sedikit wawancara atau observasi partisipasi dengan mereka, saya tulis di sini. Ini adalah bentuk self-reflexivity saya untuk tidak membuat penghakiman pada fenomena, seperti kata Saukko (lalu dikeplak Pak Faruk: ora ngene Ndes maksude).

 

Terima kasih mau baca tulisan sampah ini.